Thursday, March 1, 2018

Makalah Hukum Perbankan Rahasia Bank


 Rahasia Bank

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari system keuangan dan system pembayaran dunia. Mengingat hal yang demikian itu, maka begitu suatu bank telah memperoleh izin berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter dari Negara yang bersangkutan, bank tersebut menjadi milik masyarakat. Oleh karena itu eksistensinya bukan saja hanya harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri dan pengurusnya, tetapi juga oleh masyarakat nasional dan global.
Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana simpanan mereka pada bank. Oleh karena itu bank sangat berkepentingan agar kadar kepercayaan masyarakat, yang telah maupun yang akan menyimpan dananya, terpelihara dengan baik dalam tingkat yang tinggi. Mengingat bank adalah bagian dari sistem keuangan dan system pembayaran, yang masyarakat luas berkepentingan atas kesehatan dari sistem-sistem tersebut, sedangkan kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling pokok dari eksistensi suatu bank, maka terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada perbankan adalah juga kepentingan masyarakat banyak.
Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      Integritas pengurus
2.      Kesehatan bank yang bersangkutan
3.      Kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank.
Sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu faktor untuk dapat memelihara dan meningkatkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan perbankan pada umumnya ialah kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank. Oleh karena itu, dalam makalah ini, kami hendak mendeskripsikan materi tentang rahasia bank itu.



B. Rumusan Masalah 
  1.      Apakah pengertian dan teori rahasia bank ?
  2.      Apa saja pelanggaran rahasia bank dan pengecualian rahasia bank ?

C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dan teori rahasia bank
    2.      Untuk mengetahui pelanggaran rahasia bank beserta pengecualiannya



Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
            Latar Belakang…………………………………………………………………………….1
            Rumusan Masalah…………………………………………………………………………2
            Tujuan……………………………………………………………………………………..2

BAB II PEMBAHASAN
            Pengertian Rahasia Bank dan teori – teori Rahasia Bank…………………………………4
            Pelanggaran Rahasia Bank dan Pengecualian Rahasia Bank……………………………..6

BAB III PENUTUP
            Kesimpulan………………………………………………………………………………10
            Saran……………………………………………………………………………………..11
            Daftar Pustaka…………………………………………………………………………....11



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Rahasia Bank dan Teori Rahasia Bank
  Dalam sistem hukum perbankan Indonesia, pengertian mengenai rahasia bank selalu ditentukan dalam undang-undang yang mengatur lembaga perbankan. Namun demikian, sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat rumusan tentang rahasia bank itu pun mengalami perubahan, baik pengertian maupun ruang lingkupnya.
Mengenai pengertian rahasia bank, bisa kita lihat dalam UU No. 7 Tahun 1998 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Adapun rumusan mengenai rahasia bank menurut kedua undang-undang tersebut adalah sebagaimana diuraikan berikut ini. :

1.      UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No. 7 Tahun 1992, yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.
Berkaitan dengan itu, ketentuan Pasal 40 ayat (1) menentukan bahwa bank dilarang memberikan keterangan yang dicatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikemukakan bahwa makna yang terkandung dalam pengertian rahasia bank adalah larangan-larangan bagi perbankan untuk memberi keterangan atau informasi kepada siapa pun juga mengenai keadaan keuangan nasabah dan hal-hal lain yang patut dirahasiakan dari nasabahnya, untuk kepentingan nasabah maupun kepentingan dari bank itu sendiri.
Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 16 tersebut diubah menjadi Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998, yang mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Adapun Pasal 40 ayat (1) di atas diubah menjadi Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998, yang mengemukakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
Berdasarkan ketentuan di atas, menunjukkan bahwa pengertian dan ruang lingkup mengenai rahasia bank yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 dan UU No. 10 Tahun 1998 memiliki perbedaan. Dalam UU No 7 Tahun 1992 ketentuan rahasia bank tersebut lebih luas, karena berlaku bagi setiap nasabah dengan tidak membedakan antara nasabah penyimpan dan nasabah peminjam. Adapun ketentuan rahasia bank yang ditentukan dalam UU No. 10 Tahun 1998 lebih sempit, karena hanya berlaku bagi nasabah penyimpan dan simpanannya saja.
Teori-teori Rahasia Bank
Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi nasabah penyimpan dan simpanannya maupun bagi kepentingan dari bank itu sendiri, sebab apabila nasabah penyimpan ini tidak mempercayai bank di mana ia menyimpan simpanannya tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya.
Terdapat dua teori mengenai rahasia bank, yaitu sebagai berikut:
1.      Teori Rahasia Bank yang Bersifat Mutlak
Menurut teori ini bank mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia nasabah yang diketahui bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan biasa atau pun keadaan luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan kepentingan individu, sehingga kepentingan negara dan masyarakat sering terabaikan.
2.      Teori Rahasia Bank yang Bersifat Nisbi (Relatif)
Menurut teori ini bank diperbolehkan membuka rahasia atau memberi keterangan mengenai nasabahnya, jika untuk kepentingan yang mendesak, misalnya untuk kepentingan negara atau kepentingan hukum. Teori ini banyak dianut oleh bank-bank di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
B. Pelanggaran Rahasia Bank dan Pengecualian Rahasia Bank
  Secara tegas dinyatakan bahwa ada dua jenis tindak pidana yang ditentukan oleh Pasal 47 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berkaitan dengan perbankan. Pertama, tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang tanpa membawa perintah atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia dengan sengaja memaksa bank atau pihak yang terafilisi untuk memberikan keterangan yang harus dirahasiakan oleh bank. Hal ini di tentukan oleh Pasal 47 ayat (1). Kedua, tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank, atau pihak terafiliasi lainnya, yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank. Tindak pidana tersebut ditentukan oleh Pasal 47 ayat (2).
Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut berbunyi sebagai berikut:
1)      Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pemimpin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terfiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal  40, diancam dengan pidana penjara sekuran-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar).
2)      Anggota dewan komisaris,direksi,pegawai bank atau pihak teafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Pengecualian Rahasia Bank
Pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank dalam UU No. 7 tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 adalah mengacu kepada ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A.
Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) tersebut dapatlah diuraikan secara sistematis pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank sebagai berikut:
1.      Untuk Kepentingan Perpajakan
Mengenai pembukaan rahasia bank untuk kepentingan perpajakan ini diatur dalam ketentuan Pasal 41 ayat (1) yang menentukan bahwa:
Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

2.      Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank yang Telah Diserahkan kepada BUPLN/PUPN
Ketentuan Pasal 41A ayat (1) adalah landasan hukum untuk pembukaan rahasia bank untuk kepentingan piutang bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau Panitia Urusan Piutang (PUPN). Secara lengkap ketentuan Pasal 41A ayat (1) menentukan bahwa:
Untuk penyelesaian piutang bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan nasabah debitur.

3.      Untuk Kepentingan Peradilan dalam Perkara Pidana
Pembukaan atau penerobosan terhadap ketentuan rahasia bank dapat juga dilakukan dengan alasan untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998. Ketentuan Pasal 42 ayat (1) menentukan  bahwa:
Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.

4.      Dalam Perkara Perdata antara Bank dengan Nasabah
Menurut ketentuan Pasal 43 UU No. 10 Tahun 1998 bahwa:
Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.

Ketentuan ini merupakan landasan hukum dan alasan dapat dibukanya atau diterobosnya ketentuan rahasia bank untuk kepentingan penyelesaian perkara perdata antara bank dan nasabahnya di pengadilan. Untuk itu direksi dari bank yang bersangkutan dapat memberikan keterangan mengenai keadaan keuangan dari nasabah tersebut.
5.      Dalam Tukar-menukar Informasi Antar Bank
Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998, bahwa dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank juga merupakan alasan untuk pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank.
Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa:
Dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.

Ketentuan di atas tentu dapat dilakukan jika ada suatu kepentingan dari bank yang bersangkutan yang berkaitan dengan nasabah tersebut, dan tidak menimbulkan kerugian bagi nasabah. Oleh sebab itu, pelaksanaan dari ketentuan ini lebih lanjut diatur oleh Bank Indonesia sebagaimana ditentukan oleh Pasal 44 ayat (22) UU No. 10 Tahun 1998.
6.      Atas Permintaan, Persetujuan atau Kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Ahli Warisnya
Alasan-alasan pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank yang telah dikemukakan di atas, pada dasarnya mengandung suatu kepentingan dari negara, kepentingan penyelesaian perkara, dan kepentingan dari bank.
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga mengatur mengenai pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank atas dasar kepentingan dari nasabah penyimpan sebagaimana diatur dalam Pasal 44A.
Pasal 44A ayat (1) menentukan bahwa:
Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 44A ayat (2) diatur bahwa:

Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.

Dari ketentuan Pasal 44A ayat (1) dan (2) di atas, menunjukkan bahwa bank berkewajiban untuk memberikan keterangan mengenai simpanan dari nasabah penyimpan kepada pihak yang diberi kuasa atau ditunjuk oleh nasabah penyimpan dan/atau memberi keterangan simpanan dari nasabah penyimpan kepada ahli warisnya apabila ia meninggal dunia.
Selain pengecualian-pengecualian yang telah diuraikan diatas, KPK juga diberikan kewenangan dalam membuka rahasia bank. Kewenangan tersebut didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan rahasia bank yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 2 Desember 2004. Surat Keputusan Mahkamah Agung RI tersebut diterbitkan sebagai jawaban atas Surat Gubernur Bank Indonesia No. 6/2/GBI/DHk/Rahasia, tanggal 8 Agustus 2004 yang meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung untuk menjawab persoalan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membuka rahasia bank.
Dalam Surat Keputusan memuat penegasan hukum, bahwa ketentuan Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan ketentuan khusus (lex specialis) yang memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dengan demikian ketentuan prosedur izin membuka rahasia bank sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998, tidak berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

   

BAB III
PENUTUP

   A.    Kesimpulan
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya.
                Teori tentang rahasia bank menunjukkan ada dua pendapat. Pertama, teori mutlak, yaitu bahwa bank berkewajiban menyimpan rahasia nasabah yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apa pun. Kedua, teori nisbi, yaitu bank diperbolehkan membuka rahasia nasabahnya jika untuk suatu kepentingan yang mendesak, misalnya kepentingan negara.
  Secara tegas dinyatakan bahwa ada dua jenis tindak pidana yang ditentukan oleh Pasal 47 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berkaitan dengan perbankan. Pertama, tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang tanpa membawa perintah atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia dengan sengaja memaksa bank atau pihak yang terafilisi untuk memberikan keterangan yang harus dirahasiakan oleh bank. Hal ini di tentukan oleh Pasal 47 ayat (1). Kedua, tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank, atau pihak terafiliasi lainnya, yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank. Tindak pidana tersebut ditentukan oleh Pasal 47 ayat (2).
Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ada beberapa pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank, yaitu sebagai berikut:
a.       Untuk Kepentingan Perpajakan
b.      Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank yang Telah Diserahkan kepada BUPLN/PUPN
c.       Untuk Kepentingan Peradilan dalam Perkara Pidana
d.      Dalam Perkara Perdata antara Bank dengan Nasabah
e.       Dalam Tukar-menukar Informasi Antar Bank
f.       Atas Permintaan, Persetujuan atau Kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Ahli Warisnya.
g.      Pengecualian terhadap KPK atas ketentuan rahasia bank yang didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan rahasia bank.

   B.     Saran
Walaupun dalam prakteknya sangat jarang ditemukan mengenai kasus tindak pidana
Rahasia bank. Kami menyarankan agar tindakan pencegahan lebih diutamakan agar rahasia bank tersebut tidak dilanggar sebab, rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat sensitive baik bagi masyarakat banyak maupun pihak – pihak yang terlibat.
            Pengecualian yang ditegaskan oleh undang – undang membuat beberapa lembaga berhak mengetahui rahasia bank tersebut. Ditakutkan apabila ada oknum – oknum yang melakukan tindakan diluar wewenangnya kemudian menyalahgunakan rahasia bank tersebut, kami juga menyarankan agar lembaga yang diberi wewenang ini agar melakukannya dengan professional dan sesuai dengan wewenang masing – masing.

  C.    Daftar Pustaka
Djumhana, Muhammad. (2012). Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Hermansyah. (2011). Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Undang – undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan

Undang – undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan

https://nianopitasuryani.wordpress.com/2013/10/27/sanksi-atas-pelanggaran-rahasia-bank/. (diakses pada hari Minggu tanggal 13 November 2016 pukul 15:24 WIB)
           


Baca Juga: 

Thursday, February 15, 2018

Hubungan HAM dengan Pancasila dan UUD 1945

   A.    HAM dalam Pancasila

HAM, yaitu hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Menurut Oemar Seno Aji (1966), HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia sebagai insan ciptaan Allah SWT, sepeti hak hidup, keselamatan, kebebasan dan kesamaaan sifatnya tidak boleh dilangar oleh siapapun. Menurut Kuncoro (1976), HAM adalah hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya dan tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya. G.J.Wollhof menambahkan, “HAM adalah sejumlah hak yang berakat pada tabi’at setiap pribadi manusia, dan tidak dapat dicabut oleh siapapun.”
Hubungan antara Pancasila dan HAM di Indonesia dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Sila Ketuhanan yang maha Esa menjamin hak kemerdekaan untuk memeluk agama , melaksanakan ibadah dan menghormati perbedaan agama. Sila tersebut mengamanatkan bahwa setiap warga negara bebas untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini selaras dengan Deklarasi Universal tentang HAM (Pasal 2) yang mencantumkan perlindungan terhadap HAM
  2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab menempatkan hak setiap warga negara pada kedudukan yang sama dalam hukum serta memiliki kewajiban dan hak-hak yang sama untuk mendapat jaminan dan perlindungan undang-undang. Sila Kedua, mengamanatkan adanya persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Deklarasi HAM PBB yang melarang adanya diskriminasi.
  3. Sila Persatuan Indonesia mengamanatkan adanya unsur pemersatu diantara warga Negara dengan semangat rela berkorban dan menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi atau golongan, hal ini sesuai dengan prinsip HAM Pasal 1 bahwa Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
  4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan dicerminkan dalam kehidupan pemerintahan, bernegara, dan bermasyarakat yang demokratis. Menghargai hak setiap warga negara untuk bermusyawarah mufakat yang dilakukan tanpa adanya tekanan, paksaan, ataupun intervensi yang membelenggu hak-hak partisipasi masyarakat. Inti dari sila ini adalah musyawarah dan mufakat dalam setiap penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan sehingga setiap orang tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan sendiri, atas inisiatif sendiri yang dapat mengganggu kebebasan orang lain. Hal ini sesuai pula dengan Deklarasi HAM.
  5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengakui hak milik perorangan dan dilindungi pemanfaatannya oleh negara serta memberi kesempatan sebesar-besarnya pada masyarakat. Asas keadilan dalam HAM tercermin dalam sila ini, dimana keadilan disini ditujukan bagi kepentingan umum tidak ada pembedaan atau diskriminasi antar individu.
B.     HAM dalam UUD 1945
Dasar-dasar HAM tertuang dalam UUD 1945 Republik Indonesia selanjutnya dapat ditemukan dalam sejumlah pasal Batang Tubuh UUD:
  1. Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
  2. Pasal 28: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”
  3. Pasal 29 ayat (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
  4. Pasal 30 ayat (1): “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”
  5. Pasal 31 ayat (1): “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”.   
Hak dan Kewajiban Warga Negara yang Diatur Dalam UUD 1945
Hak dan kewajiban warga negara diatur dalam UUD 1945 yang meliputi :

      A.    Hak Asasi Manusia Bidang Ekonomi.

Di dalam Pasal 27 ayat (2) Perubahan UUD 1945 ditentukan : “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam Pasal 28D ayat (2) Perubahan UUD 1945 ditentukan :Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Selanjutnya khusus mengenai perekonomian diatur dalam Pasal 33 Perubahan UUD 1945 yaitu :
(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
(3). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Penelusuran dalam kepustakaan ditemukan bahwa hak asasi manusia bidang ekonomi adalah hak yang berkaitan dengan akitivitas perekonomian, perburuhan, hak mempero!eh pekerjaan, perolehan upah dan hak ikut serta dalam serikat buruh. 

      B.     Hak Asasi Manusia di bidang Sosial dan Budaya

a. Hak asasi Manusia di bidang Sosial

Hak asasi manusia bidang sosial adalah hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak atas jaminan sosial, hak atas perumahan dan hak atas pendidikan. Dalam Perubahan UUD 1945 ditentukan sbb :
          Pasal 28H ayat (3) Perubahan UUD 1945 menentukan : ”Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermatabat”
     Pasal 28H ayat (1) Perubahan UUD 1945 menentukan:  “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
          Pasal 31 Perubahan UUD 1945 menentukan tentang pendidikan dan kebudayaan yaitu :
(1)    Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan
(2)    Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3)    Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang            meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta aklak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-undang.
(4)    Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)    Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tehnologi dengan menjungjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

b. Hak Asasi manusia di bidang Budaya

Hak asasi manusia dalam bidang budaya dapat diidentifikasi sebagai berikut :
  Pasal 28C Perubahan UUD 1945 menentukan bahwa :
”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tehnologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
  Pasal 28I ayat (3) Perubahan UUD 1945 menentukan bahwa:
”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
  Pasal 32 Perubahan UUD 1945 menentukan :
(1)    Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
(2)    Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Di dalam Perubahan UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.